Sabtu, 08 April 2017

PADRE PIO DAN JIWA DARI PURGATORIUM

St Padre Pio.

Pada bulan Mei 1922, Padre Pio menyampaikan kesaksian berikut kepada Uskup Melfi, Yang Mulia Alberto Costa dan juga Superior para biarawan, Padre Lorenzo dari San Marco, bersama 5 orang biarawan lainnya. Seorang dari kelima biarawan tersebut, Fra Alberto D 'Apolito dari San Giovanni Rotondo menuliskan kisahnya sebagai berikut:

"Sewaktu di biara pada suatu musim dingin sesudah hujan salju lebat, ia [Padre Pio] tengah duduk dekat perapian di suatu malam di ruang tamu, tenggelam dalam doa, ketika seorang laki-laki tua, mengenakan jubah kuno yang masih dikenakan oleh para petani Italia selatan pada waktu itu, sekonyong-konyong duduk di sampingnya. Mengenai orang ini Padre Pio mengatakan: 'Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ia bisa masuk biara pada waktu selarut ini karena semua pintu telah
terkunci. Aku menanyainya: Siapakah engkau? Apa yang kau inginkan?'

Laki-laki tua itu mengatakan kepadanya, 'Padre Pio, saya adalah Pietro Di Mauro, putera Nicola, yang dijuluki Precoco.' Lalu ia melanjutkan, "Saya meninggal di biara ini pada tanggal 18 September 1908, di bilik nomor 4, ketika biara masih merupakan wisma bagi kaum miskin. Suatu malam, sementara di tempat tidur, saya tertidur dengan cerutu menyala, yang membakar kasur dan saya mati, sesak napas dan terbakar. Saya masih di api penyucian. Saya butuh satu Misa Kudus agar dapat dibebaskan. Allah mengijinkan saya datang dan meminta pertolonganmu. "

Menurut Padre Pio: 'Setelah mendengarkan dia, aku menjawab, "Yakinlah bahwa besok aku akan merayakan Misa untuk pembebasanmu." Aku bangkit dan menemaninya ke pintu biara, supaya ia bisa pergi. Aku tidak sadar bahwa ketika itu pintu ditutup dan dikunci. Aku membukanya dan mengucapkan salam perpisahan. Bulan menyinari lapangan yang tertutup salju. Ketika aku tak lagi melihatnya di depanku, aku merasa takut, dan aku menutup pintu, masuk kembali ke ruang tamu, dan merasa lemas.'

Beberapa hari kemudian, Padre Pio juga menceritakan kisah yang sama kepada Padre Paolino, dan keduanya memutuskan untuk pergi ke balai kota, di mana mereka melihat-lihat informasi untuk tahun 1908 dan mendapati bahwa pada tanggal 18 September tahun itu, seorang Pietro Di Mauro meninggal dunia karena luka bakar dan sesak napas di kamar nomor 4 di biara tersebut, yang pada waktu itu digunakan sebagai wisma bagi para tunawisma.

Sekitar waktu yang sama, Padre Pio menceritakan kepada Fra Alberto suatu penampakan lain jiwa dari purgatorium yang juga terjadi sekitar waktu yang sama. Ia mengatakan:

"Suatu malam, ketika aku sedang tenggelam dalam doa di tempat paduan suara di sebuah gereja kecil, aku dikejutkan dan terganggu oleh suara langkah-langkah kaki, dan lilin-lilin serta vas-vas bunga berpindah di atas altar utama. Berpikir bahwa seseorang pastilah di sana, aku berteriak, 'Siapa itu?'

Tak seorang pun menjawab. Aku kembali berdoa, dan lagi aku diganggu oleh suara-suara yang sama. Bahkan, kali ini aku mendapat kesan bahwa salah satu lilin, yang berada di depan patung Santa Perawan Maria Bunda Rahmat, telah jatuh. Ingin tahu apa yang sedang terjadi di altar, aku berdiri, pergi dekat jeruji dan melihat, dalam bayang-bayang cahaya lampu Tabernakel, seorang konfrater muda sedang bersih-bersih. Aku berteriak, 'Apa yang sedang kau lakukan dalam gelap?' Sang biarawan kecil menjawab, 'Saya sedang bersih-bersih.'

'Kamu bersih-bersih dalam gelap?' tanyaku. 'Siapa kau?'

Sang biarawan kecil menjawab, 'Saya seorang novis Capuchin, yang menghabiskan waktu api penyucian di sini. Saya membutuhkan doa-doa.' Dan ia pun lenyap."

Padre Pio mengatakan bahwa ia segera mulai berdoa untuknya sebagaimana diminta, dan tidak diketahui apakah Padre Pio kemudian berhubungan lebih lanjut dengan jiwa ini. Akan tetapi, sehubungan dengan jiwa-jiwa di purgatorium, adalah menarik menyimak bahwa di kemudian hari Padre Pio suatu kali mengatakan bahwa "Begitu banyak jiwa-jiwa orang mati datang ke jalanan ini [ke biara] seperti banyaknya jiwa-jiwa orang hidup." Tak diragukan, banyak jiwa-jiwa dari api penyucian mengunjungi Padre Pio memohon doa-doanya, kurban dan penderitaannya demi mendapatkan pembebasan mereka.


sumber : “Amazing stories from Purgatory and the afterlife”.




Tikala Baru, 8 April 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SECARIK TIKET KERETA

Dalam suatu kereta Ekonomi yang non AC, seorang Eksekutif muda, dengan jas elegan naik di sana. Sesak2an dengan  penumpang lain. Sesaat kemu...